Perspektif perempuan, ibu Sitti teraniaya karena harus terusir dari tanahnya sendiri di rampok dan modelnya kerja-kerja mafia tanah. Jadi yang melapor juga ini bisa dikatakan bagian dari kerja-kerja mafia tanah sebenarnya.
Karena mulai dokumen kependudukan, data KTP dari identitas di dalam namanya seperti Serawati, surat keterangan ahli waris, akte jual beli (AJB) yang di bikin camat sampai BPN penerbitan sertifikat masalah.
Dan itu bisa dilakukan dengan kerja-kerja mafia melibatkan struktur negara dari mulai RT RW, Lurah, Camat sampai kantor BPN.
Dan itu struktur negara. Dari sisi kemanusiaan sebagai seorang ibu Sitti yang tidak bisa melawan negara. Apa berdaya dia melawan negara, tidak bisa.
Nah sekarang pelapor dalam hal ini Rukman menggunakan negara untuk menangkap dia. Tertangkap lah dia (Sitti).
Apa yang bisa dilakukan, dia hanya berupaya mencari keadilan dengan merangkul teman-teman bisa diajak untuk membantu dia. Karena dia juga mengaku bahwa dia buta hukum.
Ini sisi kemanusiaan yang bisa di gali bahwa ternyata disini kegagalan negara. Setiap saat mengesahkan undang-undang baru, tapi tidak pernah melakukan pendidikan hukum kewarganegaraannya.
Ketika warga negara kenna hukum, warga negara tidak punya kemampuan alat untuk membelah diri sendirinya. Kenapa, karena tidak diberikan oleh negara.
Itu ada di pasal 28 Undang-undang Dasar mengenai hak kecakapan hukum bagi setiap warga negara. Jadi tidak hanya dianggap bahwa setiap undang-undang yang berlaku bahwa warga negara dia anggap harus tau dan harus taat. Tapi harus juga ada kewajiban negara juga harus mendidik warga negaranya paham hukum.
Kalau ada warga negara tidak paham hukum? seharusnya negara melindungi warga negaranya dalam hal ini pemerintah Jokowi. Kalau ada warga negara teraniaya karena hukum dijadikan sebagai alat untuk menganiaya, maka disitulah Jokowi yang tidak ada andilnya sebagai pemerintah dalam hal melindungi warga negaranya.
Itu yang dimaksud dari sisi kemanusiaan karena ketidak berdayaannya ibu Sitti secara hukum dari segi pengetahuan dia tidak ada dan dia juga tidak punya gelar hukum untuk melindungi dirinya. apa lagi di tambah kemampuan dia secara ekonomi tidak memungkinkan untuk melawan.
Akhirnya dia tersisa di penjara karena malah babak belur dia. Tidak memiliki kemampuan ekonomi, kemampuan politik tidak ada, dari segi pengetahuan hukum dia tidak ada, sehingga apa yang terjadi sampai hari ini itu cerminan bahwa negara tidak hadir untuk melindungi setiap warga negaranya ketika berhadapan dengan hukum.
#
Kedudukan ibu Sitti korban dari sistem hukum yang ada. Jadi hukum ada di Indonesia selain di gembor-gemborkan sebagai bendera untuk keadilan bagi setiap warga negara, ternyata hukum juga ini dimanfaatkan sebagai kaki tangan bagi penguasa atau punya uang sebagai alat untuk menindas bagi setiap orang warga negara dalam hal ini perempuan juga yang tidak paham hukum, tidak punya akses keadilan tertindas disitu.
#
PH menilai bahwa dijadikannya ibu Sitti sebagai tersangka dalam pelaporan pak Rukman tentang pasal 378 dan 372 Patut diduga ada keganjalan terhadap kliennya.
Selaku PH, saat ini ia mendampingi ibu Siti untuk melakukan upaya-upaya aspek kemanusiaan belum sampai aspek hukum.
Kita upayakan ada jalur restorative Justice atau penyelesaian di luar pengadilan dengan cara mendamaikan pelapor dan terlapor dalam hal ini ibu Sitti dan Rukman.
Dalam konteks ini, bahwa waktu terjadi peristiwa itu kan di awali pelapor berkenan dengan penipuan dan penggelapan karena pelapor merasa dia sudah membayar sebanyak 65 juta, tapi terlapor tidak menjalankan kesepakatan itu.
Tapi berdasarkan berkas administrasi yang ada, ibu Sitti (terlapor) sudah menjalankan itu dan meninggalkan lokasi.
Cuma pihak pelapor ini yang selalu merubah-rubah, bahkan ketika ditanya kesepakatan dan itu sebenarnya bagaimana waktu di awal (pelapor) nah itulah yang tidak bisa dia ungkapkan berdasarkan fakta tertulis atas dasar apa transaksi awal itu dilakukan padahal ada bukti-bukti itu.
# melihat kejadian ini?
Negara harus lebih sensitif terhadap warga negaranya berhadapan dengan hukum. Jangan ketika warga negara ketemu warga negara bermasalah seperti ini negara seakan-akan tidak hadir.
Bahkan kepolisian kita melihat dia ada seakan-akan ada keberpihakan terhadap pelapor dan menganggap terlapor sudah orang yang salah. Tapi tidak menggali secara dalam betul kah salah disitu.
# berarti penegakan harus dilakukan secara profesional dan kehati-hatian?
Tapi kita bangun sisi kemanusiaannya dulu kita tempuh. Bagaimana ibu Sitti memiliki hak terhadap tanah itu kemudian teraniaya secara hukum dengan adanya berkas-berkas yang sebenarnya memungkinkan bahwa dia memang sudah memenuhi berdasarkan perjanjian kemarin 65 juta entah 65 atau 45 juta itu.
Baru hari senin ini kita konfirmasi ke penyidik terkait fakta hukumnya itu sendiri.
Upaya RJ sudah kita lakukan dengan menyurati pihak kepolisian setempat dan komunikasi atau negosiasi awal dengan PH pelapor. Penyidik pun mempersilahkan itu dengan memberikan peluang terlapor maupun pelapor untuk melakukan upaya RJ.
Cuma terlihat pelapor ini memaksakan di luar pada fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan. Karena transaksi itu tidak satu rumah tapi dua rumah dan sudah di kosongkan.
#
Jadi sebenarnya lawan ini menggunakan hukum sebagai instrumen atau alat untuk menekankan orang lain sehingga hak hukum orang lain itu teraniaya di situ. Sehingga ia di tahan karena sebenarnya ia memenuhi apa yang ia sepakati. Jual beli yang terjadi di tahun 2020, di 2022 ini masih di persoalkan padahal sudah diselesaikan kemarin waktu 2020.
Di manfaatkan oleh itu tadi mengedentifikasi jaringan mafia tanah karena si pelapor ini tidak bekerja secara )