PortalIndonesiaNews.net - Membaca tulisan dari dari beberapa media online lokal yang memuat kejadian penyimpangan sosial terhadap fasilitas publik, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok remaja yang kebut-kebutan di sepanjang jalan utama kota beberapa waktu lalu, sungguh miris dan memperihatinkan. Bagaimana tidak, jerih payah pemerintah daerah untuk mempercantik wajah kota serta memanjakan warganya dengan menyediakan fasilitas sosial, wahana bermain, ekspresi atau area rekreasi dan santai harus menerima kenyataan yang memilukan akibat ulah tangan-tangan usil dan kotor warganya sendiri. Disadari atau tidak disadari oleh oknum warga tersebut yang pasti sudah menciderai itikad baik pemerintah daerah sekaligus mencoreng nama baik masyakarat.
Seolah-olah wajah kebringasan dan kekonyolan dipamerkan dengan cara vulgar dan murah ke publik bahwa perilaku sosial seperti ini menampakkan citra kebiasaan warga, padahal realitas sosial tidak serta merta menunjukan keseluruhan itu, kejadian seperti ini memang bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Lantas, adakah yang mesti disalahkan atau bertanggung jawab atas perilaku menyimpang seperti ini….? tentunya perlu penelusuran lebih mendalam terhadap kasus yang barangkali tidak hanya kota di Bangka Belitung saja.
Pada sudut pandang lain dalam buku Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan yang dirilis pada tahun 2004. Menurut Marshall B. Clinard dan Robert F. Meier yang menjelaskan bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial memiliki empat sudut pandang yaitu: pertama, secara statistik bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial sebagai segala perilaku yang bertolak belakang dari perilaku atau tindakan yang umum dilakukan. Kedua, secara absolut dimaksudkan bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial sebagai segala perilaku yang dianggap sebagai suatu tindakan menyimpang norma maupun aturan yang ada dari suatu kelompok atau lingkungan masyarakat. Ketiga, menurut para kaum reaktivis bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial sebagai suatu gejala sosial yang terjadi karena adanya tindakan seseorang ataupun individu yang mengakibatkan reaksi dari lingkungan masyarakat tempat dia berada. Keempat, secara normatif diartikan bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial sebagai sesuatu tindakan menyimpang yang dilakukan oleh seseorang akibat melanggar norma atau aturan yang ada pada lingkungan masyarakat.
Kemunculan perilaku seseorang tak terlepas dari hubungan timbal balik yang terjadi dalam proses pembelajaran dan pengaruh dari situasi lingkungan kehidupannya. Perilaku menyimpang bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah terjadi krisis identitas, lingkungan keluarga, lingkungan komunitas atau pergaulannya serta pengendalian dan kontrol diri yang lemah. Sebelum mengupas tulisan ini, penulis mengutip beberapa sumber salah satunya dari gramedia.blog bahwa penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang merupakan suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan seseorang maupun suatu kelompok yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku di suatu lingkungan masyarakat maupun kelompok yang telah menyepakati aturan atau norma sosial tersebut. Pertanyaannya, apakah penyimpangan sosial seperti pengrusakan fasilitas umum/sosial melanggar hukum negara?
Pada sudut pandang lain dalam buku Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan yang dirilis pada tahun 2004. Menurut Marshall B. Clinard dan Robert F. Meier yang menjelaskan bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial memiliki empat sudut pandang yaitu: pertama, secara statistik bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial sebagai segala perilaku yang bertolak belakang dari perilaku atau tindakan yang umum dilakukan. Kedua, secara absolut dimaksudkan bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial sebagai segala perilaku yang dianggap sebagai suatu tindakan menyimpang norma maupun aturan yang ada dari suatu kelompok atau lingkungan masyarakat. Ketiga, menurut para kaum reaktivis bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial sebagai suatu gejala sosial yang terjadi karena adanya tindakan seseorang ataupun individu yang mengakibatkan reaksi dari lingkungan masyarakat tempat dia berada. Keempat, secara normatif diartikan bahwa perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial sebagai sesuatu tindakan menyimpang yang dilakukan oleh seseorang akibat melanggar norma atau aturan yang ada pada lingkungan masyarakat.
Kembali kepada perilaku pengrusakan fasilitas umum di atas, pandangan kebanyakan orang baik awam maupun paham (intelek) apapun bentuk tindakan yang mengakibatkan timbulnya keresahan, kerusakan, kesengsaraan, kerugian dan kesusahan bagi diri sendiri atau orang lain bukanlah sikap perilaku yang terpuji dan hal itu dianggap tercela apalagi sudah bertentangan dengan norma hukum yang berlaku. Kebiasaan merusak fasilitas umum apakah tergolong suatu penyakit kejiwaan atau suatu tindakan yang bertentangan dengan kaidah hukum positif. Para ahli sosiologi mengkategorikan secara umum membagi perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial menjadi dua jenis berdasarkan sifat dan perilakunya. Yakni penyimpangan positif dan penyimpangan negatif. Penyimpangan negatif bisa diartikan sebagai sebuah perilaku menyimpang yang memiliki atau memberikan dampak negatif terhadap sistem sosial karena memiliki unsur-unsur yang sifatnya merendahkan dan selalu menyebabkan hal-hal buruk terjadi seperti pencurian, perampokan, pengrusakan, penganiayaan, bullying, hingga pemerkosaan.
Perusakan fasilitas umum atau publik salah satu bentuk tindakan penyimpangan yang tidak bisa ditolerir, sehingga menyebabkan kerugian bagi orang lain atau pemerintahan daerah. Perilaku menyimpang umumnya didefinisikan sebagai perilaku yang dianggap bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku di masyarakat. Ada beberapa faktor yang membuat seseorang memiliki perilaku menyimpang, salah satunya adalah masalah psikologis. Ada pula anggapan tentang perilaku menyimpang bisa bersifat subjektif dan kontekstual. Ini berarti suatu perilaku yang dianggap menyimpang di suatu tempat mungkin bisa dianggap normal di tempat lain, tergantung pada budaya, norma, dan aturan masyarakat yang berlaku.
Namun, menurut ahli hukum pidana bahwa pengrusakan fasilitas umum adalah delik pidana pelanggaran disertai sanksi pidana. Delik pidana pengrusakan adalah tindakan pelanggaran hukum dengan metode merusak atau menghancurkan yang dilaksanakan oleh individu maupun sekelompok menghilangkan sifat pakai barang tersebut. Sebagaimana, yang dijelaskan pada Pasal 406 KUHP tentang pengrusakan berbunyi ; " bahwa barang siapa dengan sengaja melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah".
Menanggapi persoalan munculnya penyimpangan sosial yang terjadi tidak hanya pada kasus pengrusakan fasilitas umum, penulis mengambil dari beberapa sumber, disinyalir bahwa ada beberapa situasi atau faktor yang bisa mempengaruhi aksi atau tindakan penyimpangan sosial, diantaranya adalah:
1) perubahan nilai dan norma sosial. Semakin berkembangnya zaman seringkali terdapat beberapa kelompok masyarakat tidak dapat mengikuti perkembangan tersebut, sehingga nilai atau norma yang mereka miliki menjadi berbeda dari yang lain dan sering dikelompokkan sebagai perilaku menyimpang;
2) proses sosialisasi yang tidak sempurna. Penyimpangan yang terjadi kepada seorang individu karena minimnya pemberian penyuluhan, informasi, dan edukasi mengenai kaidah-kaidah atau norma yang baik dan benar;
3) Teori Labelling merupakan teori yang menggambarkan penyimpangan yang dapat terjadi ketika seseorang ataupun individu terlebih dahulu sudah dibentuk stigma negatif dari orang-orang ataupun kelompok disekitarnya. Sehingga, mereka menganggap nilai baik atau buruknya tidak berpengaruh lagi karena lingkungannya sudah under estimed (negatif) terhadap mereka;
4) Teori Anomie merupakan teori yang menggambarkan penyimpangan yang dapat terjadi ketika seseorang maupun kelompok tidak memiliki nilai dan norma yang dapat dipegang dan dijadikan suatu pedoman dalam hidup di sebuah lingkungan masyarakat, sehingga memiliki kemungkinan untuk melakukan perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial;
5) Teori Differential Association merupakan teori yang menggambarkan penyimpangan yang dapat terjadi ketika seseorang atau individu dapat dipengaruhi untuk melakukan perilaku menyimpang jika terus menerus berinteraksi dengan individu lain yang memiliki sifat menyimpang.
Mengenalkan perilaku-perilaku yang berpotensi menyimpang atau abnormal sudah seharusnya diberikan secara dini kepada generasi muda lebih khusus remaja kita. Penanaman sistem nilai, norma sosial, norma hukum, etika dan agama tidak bisa hanya mengandalkan lembaga pendidikan semata seperti sekolah/madrasah melainkan melibatkan seluruh komponen terutama lingkungan keluarga. Ketika remaja lebih dominan mendapatkan nilai-nilai kehidupannya diluar (baca:komunitas), tentu saja yang akan tumbuh kembangnya perilaku dan sistem nilai kelompok yang mana belum tentu selaras dengan sistem nilai normatif yang berlaku. Kenapa pembentukan sistem nilai atau norma-norma kehidupan harus dikenalkan kepada generasi muda secara melembaga karena masa kritis dalam pencarian identitas dan pengakuan diri berlangsung signifikan pada usia di bawah 25 tahun. Jika tidak, penanaman nilai justru bergerak liar dan tak terkendali yang memungkinkan timbulnya anomali-anomali dalam sikap dan perilaku sosialnya yang pada gilirannya akan terjadi stagnan generasi muda yang beretika.
Disinilah, peran dan tanggung jawab pemerintahan daerah berikut stakeholders terkait, organisasi kepemudaan, ormas, partai politik dan juga masyarakat secara umum turut serta bergerak memahamkan, mengedukasi dan merangkul generasi muda dengan membuka ruang dialogis, komunikasi dan keterbukaan dalam mengakses seluruh proses pembangunan agar generasi muda merasa menjadi bagian dan memiliki setiap proses yang diamati dan dirasakannya. Sosialisasi dan informasi yang cukup dan jelas kepada generasi muda pada setiap perubahan atau paradigma pembangunan setidaknya bisa dilakukan mulai dari level terendah RT atau RW sebagai subjek sekaligus obyek perubahan atau pembangunan itu sendiri. Semoga dengan dikenalkannya aspek historis, yuridis, moralitas serta sosial budaya kepada generasi muda khususnya remaja secara melembaga tentang pentingnya memahami tujuan pembangunan dan kemajuan daerah dapat mengurangi keegoan dan kegamangan remaja dalam menemukan jati diri sebagai anak negeri yang selalu bangga dan menghargai perjuangan para pemimpin dan pemerintahnya dengan baik dan benar.
(Sumber : Kemensos / Nusation Anwar)